Beberapa waktu belakangan, saya cukup intensif berinteraksi
dengan para rekan mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN yang tergabung
dalam kepanitiaan Pekan Raya Perpajakan Nasional 2017. Kegiatan ini baru kali
pertama diselenggarakan oleh Pusat Studi Perpajakan, sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa
di kampus yang sama. Atas nama waktu, Pekan Raya Perpajakan selesai dilaksanakan
dengan baik. Cukup sukses untuk pencapaian pada usia belia, baik para panitia
yang menggerakan maupun organisasi penggagasnya.
Tentu kegembiraan tidak bisa dibagi rata pada semua pihak.
Dalam bisik-bisik, saya mendengar beberapa panitia yang menyesalkan
aktivitasnya dalam menyiapkan Pekan Raya Perpajakan membuat mereka kehabisan
waktu untuk melakukan hal lain yang tidak kalah penting, seperti misalnya kuliah.
Beberapa kali, karena agenda yang bertabrakan, seorang panitia harus mangkir
dari daftar presensi yang biasa dipenuhi olehnya. Tidak jarang, di sela kuliah
yang sebenarnya sudah dihadiri, dia pun terpaksa izin kepada dosen karena ada
janji koordinasi dengan panitia lain maupun dipanggil oleh pihak lain yang
berkepentingan. Di kampus ini, bolos merupakan jalan untuk mendekatkan diri
pada status drop out. Saya bisa
memaklumi hal tersebut. Politeknik Keuangan Negara STAN merupakan salah satu kampus
yang terkenal dengan disiplinnya. Pun, hampir tidak ada orang waras yang
menyerahkan dirinya terpental dari kampus gratisan
yang menjanjikan pekerjaan selepas lulus ini.
Kejadian di atas mengingatkan saya
pada kenangan belasan tahun yang lalu, pada saat kakak saya masih duduk di
bangku sekolah menengah pertama. Pada waktu itu, kakak terkenal sangat aktif
berorganisasi, terutama pramuka. Dia selalu meluangkan waktunya untuk berlatih
secara rutin mengenai teknis kepramukaan. Bahkan, suatu saat regunya mengikuti
lomba dan lolos ke tingkat propinsi. Bagi keluarga desa seperti kami, prestasi
tersebut sangat membanggakan. Karenanya, kakak menjadi lebih rajin berlatih.
Nyaris setiap hari dia menyusun jadwal untuk meningkatkan kemampuan regunya
agar dapat memenangkan lomba.
Sayangnya, kerja keras seringkali tidak berjodoh dengan
keberuntungan. Hari pelaksanaan lomba berbarengan dengan ujian akhir kakak yang
pada saat itu duduk di bangku kelas tiga. Entah sebab sudah berjalan terlalu
jauh atau faktor kecintaannya yang besar pada pramuka, kakak memutuskan untuk
tetap mengikuti lomba. Konsekuensinya, dia tidak mengikuti ujian dan memperoleh
nilai kosong pada ijasahnya. Birokrasi yang berbelit makin mempersulitnya untuk
mengajukan ujian susulan. Prestasinya mengharumkan nama sekolah ternyata tidak
membuatnya mendapat wild card dalam
kelulusan. Sekolah tak mau tahu karena aturan tetaplah aturan. Setelah
menjalani beberapa tahap advokasi, barulah kakak dapat menyelesaikan sekolahnya
dengan ujian susulan.
Pengalaman pahit tersebut nyatanya tidak mengurangi kecintaan
kakak pada organisasi. Menginjak SMA, dia kembali aktif berpramuka. Tak ada
sesal, juga kekecewaan atas pilihan yang telah diambilnya di masa lalu.
Berorganisasi merupakan jalan hidupnya.
Pada satu titik, saya menaruh hormat pada mereka yang berani
mengambil sikap untuk tidak terlalu memikirkan diri sendiri. Terlepas dari
pilihan politiknya, Megawati Soekarno Putri adalah orang yang menurut saya
layak masuk ke dalam kategori ini. Dalam sebuah wawancara, Megawati menjelaskan
mengapa dia tidak lulus, malah memilih untuk meninggalkan kuliahnya di
Universitas Padjajaran Bandung dan Institut Pertanian Bogor. Menurutnya, dia
harus ikut dalam sebuah organisasi kemahasiswaan hasil pecahan Partai
Nasionalis Indonesia yang mulai berjalan menjauhi pemikiran sang ayah, Bung
Karno. Bung Karno sendiri kemudian mengetahui pilihan Megawati setelah dia
menceritakan hal tersebut. Marahkah Bung Karno? Tidak. “Dia menepuk-nepuk
pundak saya. Kamu benar-benar anaknya Soekarno,” kata Megawati mengutip
kata-kata ayahnya.
Beberapa orang mungkin akan dengan mudah mengecap sesuatu
yang melenceng dari kebiasaan sebagai sebuah blunder, bahkan kebodohan, apalagi
jika menyangkut hal yang mempertaruhkan masa depan yang dipenuhi dengan tanda tanya.
Namun coba bayangkan Megawati tetap rajin berkuliah dan lulus tepat waktu,
dipenuhi bunga-bunga indeks prestasi yang istimewa dan ucapan selamat dari
orang di sekitar. Barangkali hidupnya “hanya” akan berakhir menjadi karyawan
atau seorang direktur perusahaan yang harus dia bangun dari awal, bukan seorang
presiden yang tercatat pada sejarah perjalanan bangsa ini.
Dalam cerita pewayangan, lakon Dewa Ruci menebalkan penolakan
atas cap blunder yang terlalu gegabah tersebut. Ketika Resi Drona memerintahkan
Bima untuk mencari tirta perwita (air kehidupan) yang akan membuat Bima
mencapai kesempurnaan hidup, para kerabat mencibirnya. Mereka melarang Bima
untuk menjalankan misi dari Resi Drona. Mereka pun bilang mereka tahu bahwa
perintah tersebut hanya siasat Resi Drona agar Bima tewas di tempat-tempat
berbahaya yang sudah ditentukan Drona, sehingga Bima tidak turut berperang
dalam Perang Baratayuda yang kala itu sedang dipersiapkan. Konon tirta perwita
tidak pernah benar-benar ada. Namun Bima merupakan orang yang pantang menolah
perintah gurunya. Dia memilih untuk tetap pergi.
Rupanya setelah melalui beberapa rintangan, Bima tiba di sebuah
samudera dan bertemu dengan dewa kerdil yang mengaku bernama Dewa Ruci. Bima
berhasil masuk ke telinga Dewa kerdil itu dan di dalamnya Bima mendapati dunia
yang maha luas. Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di
mana-mana. Percuma mencari air kehidupan di segala tempat di dunia, sebab ia berada
di dalam diri manusia itu sendiri. Bima memperoleh lebih dari sekadar kewajiban
melaksanakan tugas dari sang guru. Dia berhasil mendapatkan anugerah yang tidak
dia sangka-sangka: pemahaman akan segala tanggung jawab. Dikatakan oleh Dewa
Ruci, "Bima, ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau kuasai. Tak ada lagi yang dicari, kesaktian,
kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara
melaksanakan.”
Memilih dengan mengorbankan sesuatu barangkali tidak selalu
menghasilkan keberhasilan, tetapi ia akan memberi pelajaran besar: bahwa
kehidupan menyediakan kesempatan kepada kita untuk melakukan hal yang,
setidaknya menurut kita, jauh lebih bermanfaat bahkan bagi orang banyak.
Melalui salah satu tulisan yang dipersembahkan kepada Sri Mulyani, Dahlan Iskan
memperjelasnya. Dahlan menulis bahwa Sri Mulyani merupakan menteri yang layak
untuk dipertahankan karena Sri Mulyani selalu menjaga komitmennya dalam
melaksanakan apa yang telah menjadi tugasnya.
Dahlan bercerita, saat ibu kandungnya, Prof Dr Retno
Sriningsih Satmoko, sedang sakit keras menjelang ajal, Sri Mulyani tidak bisa
menengoknya sekejap pun. Dia memilih mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan
emosinya untuk menyelamatkan ekonomi bangsa ini. Dia tidak bisa menjenguk ibu
kandungnya yang berjarak hanya 45 menit penerbangan di Semarang sana. Dia harus
mencucurkan air mata untuk dua kesedihan sekaligus: kesedihan karena ibundanya
berada di detik-detik akhir hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir
kehancuran ekonomi. Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah bergerak
hancur saat detak jantung ibunya juga lagi terus melemah. Dan, Sri Mulyani
memilih menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.
Saya tidak memiliki kapasitas moral untuk menghakimi mana
yang baik dan mana yang buruk. Namun saya kira bukan kebetulan jika banyak
orang besar lahir melalui serangkaian pengorbanan. Mereka ditempa oleh ujian
besar, melewati pilihan mengenai mana yang harus diambil dan mana yang harus
ditinggalkan. Manusia bisa salah memilih, tetapi niat baik dan proses selalu
lebih berharga dari hasil.
Melalui tulisan ini, saya hendak angkat topi untuk para rekan
yang memilih untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan hartanya demi
terselenggaranya Pekan Raya Perpajakan 2017. Tabik dan salam takzim untuk
kalian.

0 comments:
Post a Comment