Amnesti pajak yang sedang ramai diperbincangkan sebetulnya bukanlah kebijakan yang
belakangan ada. Justru ia muncul jauh sebelum peradaban modern lahir. Rosetta Stone,
sebuah prasasti yang bertiti mangsa 200 SM, menjelaskan siapa yang melakukan
Amnesti Pajak kali pertama dalam sejarah. Raja Ptolomeus V atau yang dikenal nama
Ephiphanes dahulu kala pernah memberikan sebuah kebijakan Amnesti Pajak.
Pengampunan itu diberlakukan bagi seluruh warga yang berada di wilayah Kerajaan
Mesir Raya, juga bagi warga yang sedang menjalani hukuman atau dipenjara karena
melakukan serangkaian pemberontakan dan tentunya penggelapan pajak. Ribuan tahun
setelahnya, banyak penguasa yang ikut tercatat memberikan pengampunan dalam
bidang perpajakan. Contohlah Italia pada November 2001 dan Polandia pada periode
September 2002 hingga April 2003, misalnya. Bahkan pada musim panas 2002, kanselor
Jerman, Gerhard Schroder, membawa isu amnesti pajak ke dalam sidang dengan
berkata, "lebih baik orang-orang yang bekerja di Leipzig daripada uang yang duduk di
Liechtenstein. Ini prinsip."
Masalahnya, bukti empiris menunjukkan bahwa Amnesti Pajak tidak meningkatkan
penerimaan negara jangka panjang secara signifikan. Bukti ini bisa dilacak melalui
penelitian Alm dan Beck di Kolorado, misalnya. Atau riset Das-Gupta dan Mookherje
terhadap pengaruh Amnesti Pajak di India pada 1965 hingga 1992 yang menyimpulkan
bahwa dari 12 kali Amnesti Pajak yang dilakukan pemerintah India di periode tersebut,
hanya tahun 1975 yang menelurkan hasil positif. Kegagalan demi kegagalan Amnesti
Pajak tersebut disebabkan oleh kepatuhan pajak yang menurun karena para Wajib Pajak
yang sudah patuh merasa bahwa kejujuran mereka tidak dihargai.