Ketika saya memulai
hari pertama ngantor, Prima Sulistya membuatkan saya sebuah notes facebook.
Dia bercerita tentang bagaimana kami pertama berkenalan saat SMA, sekelas, dan
berteman begitu saja. Dia juga bercerita mengenai bagaimana kami saling
menertawai nasib masing-masing. Tentang bagaimana saya yang mulai merintis
karir sedangkan dia masih terlunta-lunta sebagai mahasiswa. Notes tersebut bisa
dibaca di sini.
Sebetulnya, pada medio tersebut Prima sudah bisa lulus kuliah
dengan menyandang selempang bertuliskan kata cumlaude di setelan pakaian
wisudanya. Namun hal tersebut ditepisnya dengan gagah. Alasannya sederhana.
Pada kesempatan tersebut mantannya juga diwisuda. “Anak Ekspresi punya adat
buat berkumpul selepas wisuda, bersama senior-senior lain. Masa iya aku rela
dipasang-pasangkan dengannya lagi,” ujarnya.
Saat itu Prima masih cinta-cintanya dengan sang mantan. Dia
nampak lelah setiap saat dan tidak memiliki harapan hidup. Saat itu dia
mengamini benar kata Agnes Monica bahwa cinta, kadang-kadang, tak ada logika.
Prima yang dikenal sebagai ahli logika dan pintar berhitung untung-rugi
mempersetankan semuanya. Setiap kali dia rindu kepada sang mantan, dia menulis
blog yang diperuntukkan khusus untuk mantannya. Alamat blognya sendiri bisa
diakses di....ah sudahlah. Tidak baik mengungkit masa lalu. Biarlah
tulisan-tulisan romantis Prima tersimpan dalam ruang sunyi yang tak terjangkau
orang-orang.
Pada periode wisuda berikutnya Prima masih belum lulus. Belum
tuntas berpacaran dan mengakumulasi mantan anak-anak persma. Giliran mau
wisuda, ada saja anak Ekspresi yang ikut wisuda di periode tersebut. Gengsi
Prima memenangkan pertarungan batin yang terjadi dalam dirinya sendiri.
Tiga tahun setengah sejak Prima membuat notes untuk saya di
atas, barulah dia benar-benar menyelesaikan kuliahnya. Barangkali bukan karena
sudah lelah berganti pacar. Bukan juga karena lelah ditagih pertanyaan kapan
lulus oleh teman-temannya yang bawel seperti saya. Hanya saja dia bisa jadi
pesakitan dengan menyandang gelar drop out sekiranya dia tidak bisa pula lulus
di semester ini. Untung saja di pekan-pekan yang menentukan, dia selamat dari
ancaman maut tersebut.
Besok Prima resmi diwisuda. Saya teringat status dia terakhir
yang merayakan Hari Guru. Menjadi guru itu harus sabar, katanya. Kau tidak akan
pernah bisa menebak tingkah laku murid-muridmu. Mungkin karena hal tersebut dia
lebih suka menjadi wartawan. Bisa jalan-jalan. Tambah lagi dapat banyak kenalan
orang pintar dan berpengaruh. Tetapi saya pikir dia sudah tepat jadi guru.
Selain karena keguruan adalah bidang keilmuannya, dia juga telah terbukti
berhasil menjadi orang yang sabar. Lulus setelah berkuliah selama 7 tahun
menunggu mantan-mantannya lulus terlebih dahulu satu demi satu tentu
membutuhkan tingkat kesabaran super. Selain itu, penghasilan Guru Pegawai
Negeri (tentunya dengan sertifikasi) lumayan tinggi. Tidak perlu menunggu
sepuluh tahun untuk jadi setara dengan penghasilan pegawai pajak fresh
graduate.
Namun jadi apapun setelah lulus nanti, tentu itu hak Prima
seorang. Mungkin bersama orang tua dan pacarnya. Hanya saja, kali ini saya
ingin mengutip satu kalimat dari Ekspresi, padepokan tempat dia menimba ilmu
selama ini: kau boleh menjadi apapun kecuali pemalas.
Menulis ulang penutup notes Prima, tulisan ini
dibuat untuk kelulusan dia yang yang akan ditasbihkan esok hari. Ini mungkin
ucapan selamat, memoar, sekaligus obituari. Kawan-kawan datang dan pergi.
Pertemuan dan perpisahan silih berganti. Semoga kita tidak.
Jakarta, 27 November 2015
0 comments:
Post a Comment