
Industri rokok, kata Hery, selalu
menegaskan diri bahwa sahamnya 100 persen milik lokal. Mereka malah menuding
orang-orang yang menentang industri rokok sebagai antek dari perusahaan asing
yang mau masuk ke Indonesia. Ironisnya publik malah mempercayai hal ini.
"Padahal kita pahami bahwa Sampoerna sudah dikuasai Philip Morris, Gudang
Garam dibeli Jepang, Djarum pun dibeli Japan Tobacco," katanya. (dikutip dari
berita: Industri Rokok Diklaim Berbohong Soal Jumlah Petani Tembakau)
***
Dalam salah satu wawancara dengan
CNN Indonesia, Hery Chaeriansyah selaku perwakilan Koalisi yang menamakan diri
Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok mengungkapkan ada
beberapa kebohongan yang selama ini dilakukan oleh industri rokok di Indonesia.
Salah satunya adalah soal nasionalisme. Menurut Hery, Sampoerna sudah dikuasai
Philip Morris, Gudang Garam dibeli Jepang, Djarum dibeli Japan Tobacco. Sehingga
Hery menuding nasionalisme yang selalu diklaim oleh industri rokok adalah suatu
kebohongan besar.
Melihat perang kampanye antara
golongan pro dengan golongan kontra industri rokok yang makin memanas pada
tahun-tahun belakangan, rasanya wajar jika pernyataan yang keluar saling
bertolak belakang. Semua membela kepentingannya masing-masing dan ingin
terlihat benar dengan menyalahkan pihak lawan. Pertanyaannya: dalam kasus di
atas, siapakah yang sebetulnya tengah berdusta?
Saya ingat ucapan dari Pramoedya
Ananta Toer bahwa seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran. Maka,
sebagai mahasiswa di bidang akuntansi cum pegawai negeri yang bergelut di
bidang perpajakan, saya mencoba berlaku adil—tidak hanya dalam pikiran, namun
juga perbuatan. Saya mencari data-data mengenai industri rokok dan
membandingkan data tersebut dengan pernyataan dari masing-masing pihak, baik
pro maupun kontra rokok.
Data-data yang saya dapat kurang
lebih berisi seperti ini:
Melalui Laporan Keuangan Tahun
2014 dan beberapa sumber berita, diketahui bahwa sejak tahun 2005 saham
mayoritas PT HM Sampoerna Tbk., sebesar 98,18% dimiliki oleh PT Philip Morris
Indonesia. Sedangkan sisanya, yaitu sebesar 1,82% tersebar ke publik. PT Philip
Morris Indonesia sendiri merupakan anak perusahaan dari Philip Morris
International Inc., sebuah perusahaan yang berdomisili di Amerika. Dari data
ini, boleh diambil simpulan bahwa PT HM Sampoerna Tbk. betul dikuasai oleh
asing.
Saham PT Gudang Garam Tbk. selaku
pemilik resmi berbagai merk rokok Gudang Garam yang mulai terdaftar di Bursa
Efek sejak 21 Agustus 1990, hingga tanggal 30 September 2015 diketahui dimiliki
oleh PT Suryaduta Investama sebesar 69,29%, PT Suryamitra Kusuma sebesar 6,26%,
Juni Setiawati Wonowidjojo sebesar 0,54%, dan Susilo Wonowidjojo sebesar 0,38%.
Sisa saham sebesar 23,53% tersebar ke masyarakat. PT Suryaduta Investama dan PT
Suryamitra Kusuma sendiri tercatat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum (Ditjen AHU) sebagai perusahaan yang berdomisili di Kediri dan Jakarta.
Apa artinya?
Jeanne M. David, seorang professor
akuntansi dari Universitas Detroit Mercy berpendapat bahwa dilihat dari jumlah
kepemilikan sahamnya, level pengaruh dan kuasa dari sebuah entitas di suatu
perusahaan terbagi menjadi 3 golongan. Kurang dari 20%, berarti level kuasanya
rendah, 20% - 50% berarti moderat, dan lebih dari 50% berarti entitas tersebut
mengontrol perusahaan. Dilihat dari pendapat ini, tidak perlu memiliki 100% saham untuk dapat disebut sebagai, katakanlah, pemilik perusahaan. Lantas, dapat kita pahami bahwa PT
Suryaduta Investama yang memiliki saham sebesar hampir 70% di PT Gudang Garam
Tbk. adalah pengontrol jalannya perusahaan alias PT Gudang Garam Tbk. masih
dikuasai oleh perusahaan lokal.
Dari tiga perusahaan industri
rokok yang disebut oleh Hery Chaeriansyah, PT Djarum merupakan perusahaan yang
paling unik karena sahamnya tidak terdaftar di bursa efek. Namun dari berita-berita
yang beredar, PT Djarum masih dimiliki oleh duo keluarga Hartono: Michael
Bambang Hartono and Robert Budi Hartono. Masih belum diketahui dari mana Hery
mengambil simpulan bahwa PT Djarum telah dibeli oleh Japan Tobacco
International karena hingga saat ini
belum ada berita, bahkan gosip-gosip di forum-forum ekonomi, mengenai penjualan
perusahaan. Jika memang perusahaan sebesar PT Djarum yang pemiliknya
berulangkali masuk ke dalam daftar orang-orang terkaya di Indonesia dijual
tentu pasar akan ramai.
Daftar pemilik perusahaan-perusahaan
industri rokok di atas dapat diperpanjang hingga berapapun, tetapi saya yakin isu
nasionalisme yang dibawa oleh Hery Chaeriansyah tidak akan goyah. Barangkali,
ketika diberi data di atas, dia masih bisa berkelit: kalaupun perusahaan di
atas dikuasai oleh lokal, apa bukti nasionalisme perusahaan industri rokok? Masih
berdasar berita CNN Indonesia di atas, Hery toh
memegang data jumlah petani tembakau yang sekarang ada di Indonesia “hanya” berjumlah
500 ribu saja. Bahkan data tahun 2013 menunjuk angka 280 ribu orang.
Hery agaknya lupa bahwa industri
rokok tidak melulu dihitung dari petani tembakau. Industri rokok, utamanya rokok
kretek yang memakai cengkeh sebagai campurannya membutuhkan juga petani cengkeh
untuk kegiatan produksinya. Saat ini, diperkirakan pertanian cengkeh di
Indonesia menyerap sekitar 1 juta petani. Itu belum menghitung jumlah pekerja
pendukung, baik di pertanian tembakau maupun pertanian cengkeh. Bila ingin
menghitung total tenaga kerja yang terserap oleh industri rokok, kita harus
menjumlahkan pula tenaga manufaktur dan distribusinya. Data dari BPS hingga tahun
2013, jumlah tenaga kerja dari hulu hingga hilir di industri rokok mencapai
hampir 6 juta orang. Mengenai bahan baku yang banyak mengimpor dari luar
negeri, alasannya bukanlah disebabkan oleh produsen rokok yang lebih menyukai
kualitas bahan baku impor, melainkan karena produksi tembakau dan cengkeh lokal
tidak memenuhi kuota yang dibutuhkan. Tahun 2013, misalnya, produksi tembakau
hanya berkisar 230.768 ton dari kebutuhan sebesar 386.516 ton. Atau produksi
cengkeh yang hanya mampu memenuhi 84.800 ton dari kebutuhan sebesar 130.991
ton.
Kalau mau adil, ukurlah nasionalisme
industri rokok tidak hanya melalui jumlah petani dan pekerja yang diserap
melalui sektor-sektor usaha mereka. Namun juga kontribusi industri kepada
negara, terutama melalui pembayaran pajak—baik pajak pusat maupun pajak daerah—dan
cukai.
Mari tengok realisasi penerimaan
negara yang diperoleh dari sektor cukai. Selama lima tahun terakhir, cukai
berhasil menyumbang berturut-turut sebesar 63,29 triliun rupiah, 73,25 triliun rupiah,
90,55 triliun rupiah, 103,57 triliun rupiah, dan 112,75 triliun rupiah. Dari
total penerimaan tersebut, sekitar 96% berasal dari cukai dari produk tembakau.
Mengingat realisasi yang selalu melebihi
target dan juga sifat rokok sebagai barang inelastis, yang artinya kenaikan
harga tidak begitu berpengaruh terhadap jumlah konsumsi, pemerintah dengan teganya
terus menggenjot penerimaan dari sektor cukai dengan cara menaikkan target dan tarif
cukai hampir setiap tahun.
Di samping cukai, industri rokok
pun turut membayar pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui Direktorat
Jenderal Pajak berupa Pajak Penghasilan (PPh) yang nominalnya tidak kecil. Saya
tidak mendapatkan data berapa jumlah kumulatif nasional pajak yang dibayarkan dari
sektor industri rokok. Biar begitu, saya ambil contoh data pajak terutang dari
Laporan Keuangan PT Gudang Garam Tbk.
pada tahun 2014 sebesar 95.096 juta rupiah yang terdiri dari PPh Badan atas
penghasilan bersih perusahaan, PPh Pasal 21 atas pemotongan gaji pegawai, PPh
Pasal 23/26 atas jasa-jasa maupun gaji dan honor pegawai ekspatriat (jika ada),
dan PPh Pasal 22 atas perdagangan barang (biasanya berupa kegiatan
ekspor-impor). Ingat, ini baru satu perusahaan.
Rupanya, kewajiban industri rokok
dengan membayar Cukai dan Pajak Penghasilan belum berakhir. Melalui UU Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Industri Rokok masih
harus membayar pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok. Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.07/2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 Tentang Tata Cara Pemungutan Dan Penyetoran
Pajak Rokok, pajak rokok tersebut dibayarkan bersamaan dengan pembayaran cukai.
Pajak Rokok ini, meskipun dibayarkan bersamaan dengan cukai, hasilnya dinikmati
oleh pemerintah propinsi untuk dibagi ke pemerintah kabupaten sesuai dengan
proporsi penerimaan pajak rokok masing-masing daerah.
Beberapa jenis pembayaran yang
dilakukan industri rokok di atas tentu tidak bisa dipandang dari kacamata
nasionalisme semata. Ada ironisme yang muncul dari kontribusi besar sektor
industri rokok, terutama karena sejak tahun 2008, kurang lebih 4300 pabrik
rokok tumbang hingga data terakhir dari Kementerian Perindustrian dan Gabungan
Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), hanya tinggal sekitar 600 unit
pabrik rokok yang tersisa. Ambruknya pabrik-pabrik itu bukan tanpa alasan. Selain
karena ditekan oleh kebijakan pajak dan cukai yang dijelaskan di atas, ada
hambatan besar lain yang siap merubuhkan banyak pabrik rokok lain. Hambatan itu
bernama Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC).
Pemerintah Indonesia memang belum
ikut meratifikasi FCTC. Namun melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40
Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi
Kesehatan, pemerintah mulai mengadopsi poin-poin yang disepakati dalam FCTC
mulai dari pelarangan iklan rokok, pengaturan peringatan kesehatan berbentuk
gambar dan tulisan pada kemasan rokok, hingga pembatasan secara ketat area
merokok. Selain itu, rencana penyederhanaan sistem cukai untuk memperkecil kesenjangan
harga rokok termahal dan termurah menjadi hal yang sangat konyol. Rokok yang dikeluarkan
oleh industri kecil (biasanya diproduksi oleh para produsen rokok kretek murah)
harus menyamakan harga jualnya dengan rokok yang diproduksi oleh raksasa
industri rokok. Padahal, harga pokok produksi yang berbeda jelas akan
menghasilkan rasa dan estetika yang berbeda.
Betapapun inelastis konsumsi
rokok, banyaknya larangan untuk mempersempit ruang gerak industri rokok mau
tidak mau semakin menunjukkan ketidakadilan pemerintah dengan memojokkan para pelaku industri, terutama pelaku dengan skala
produksi kecil. Dukungan pemerintah terhadap industri rokok untuk mengekspor
produknya seperti yang tertulis dalam peta jalan pengendalian dampak konsumsi
rokok pun menjadi sekadar bualan karena fakta-fakta mengenai rubuhnya industri
rokok Indonesia telah terlihat di depan mata.
Harga nya disamain semua? Besok mi instan sama mi ayam pinggir jalan harganya sama
ReplyDelete