Buatmu yang sedang mulai gemar
membaca, kutuliskan satu kutipan yang tertinggal dari masa perang dunia:
Arbeit macht frei.
Bekerja memberikan orang
kebebasan. Itu adalah slogan Nazi yang cukup terkenal pada masanya. Juga membikin
orang-orang, terutama tahanan Yahudi, bergidik ngeri ketika membacanya. Bagaimana tidak? Para tahanan melewati
berjam-jam, bahkan berhari-hari perjalanan, menggunakan kereta yang penuh sesak—nyaris
tanpa oksigen—tanpa diberi makan dan minum hingga tiba di suatu tempat yang
jauhnya bahkan tidak pernah diperkirakan oleh siapapun juga. Kalau tahanan
menderita sakit yang tak tertolong, dia akan cukup “beruntung” untuk digiring
masuk ke kamar gas. Langsung dimatikan tanpa mengalami penderitaan berkepanjangan. Yang celaka justru tahanan yang masih bertahan dan sehat
setelah perjalanan keparat tadi. Dia langsung mendapat pembekalan singkat dan
diantar untuk memasuki sebuah kamp kerja paksa. Di gerbang, biasanya dia akan
membaca slogan itu: Arbeit macht frei.
Bekerja memberikan orang kebebasan. Tentu semua orang tahu bahwa propaganda
tersebut terlalu buruk untuk sebuah kalimat motivasi. Para tahanan tahu tidak
ada harapan bernama kebebasan. Bekerja hingga waktu yang tak terbatas tentu tidak memiliki padanan dengan kata merdeka. Pada masa sang Führer di puncak kejayaannya, hampir
tak mungkin berdoa agar dia tiba-tiba dikalahkan oleh sebuah negara yang
berniat menyelamatkan mereka. Jika pun ada kebebasan, itu berarti malaikat maut
segera mendatangi mereka.
Kau, kawanku, sama seperti aku,
ada di posisi yang sama, meskipun dengan kondisi yang jelas berbeda dengan para
tahanan tadi. Di dunia rutinitas hingga entah kapan (mungkin hingga kelak kau memasuki
usia pensiun), kau akan mengalami hilangnya perasaan, sedikit demi sedikit,
ditelan oleh segala yang tidak kauanggap penting namun harus kaulakukan. Pekerjaan.
Jadwal yang memakan hingga lebih dari separuh harimu hingga kau lupa mengenali
diri, lupa memaknai hari.
Tapi selalu ada hal yang bisa dipertahankan
agar kita tidak lupa untuk tetap menjadi manusia. Yahudi-Yahudi yang menjadi
tahanan Nazi, misalnya, tetap saling memanggil sesamanya dengan nama milik
mereka masing-masing. Dengan diam-diam, tentu saja, karena para sipir penjaga
siap menjatuhi hukuman jika ketahuan. Karena di kamp semua identitas telah
ditanggalkan. Yang tersisa hanyalah angka unik sebagai penanda nomor urut sel
dan jatah makan. Tidak lebih.
Kau pun begitu, bukan?
Di tengah kepenatan kerjamu, kau tetap
bisa memelihara cinta. Pun rindu. Barangkali itu sebabnya kau pelan-pelan
membangun masa depanmu. Membangun rumah, membikin kolam ikan di kampung
halamanmu. Harapanmu, kau bisa sering-sering pulang untuk memandanginya bersama
orang-orang yang kaucinta. Kelak, ketika kau telah memperoleh kebebasan,
meskipun itu hanya sesaat sebelum mati, kau bisa tinggal di sana. Menikmati
rumah yang berisi banyak ikan di kolamnya.
Kau mengingatkanku pada “Lagu
Sedih”. Lagu anak yang dibawakan ulang oleh Dialog Dini Hari ini sejatinya adalah
lagu riang. Namun Dialog Dini Hari menyanyikannya dengan irama pelan, bahkan
cenderung seperti hymne. Nada cepat di
lagu asli direm hingga memiliki kecepatan sangat rendah. Akibatnya hawa keceriaan
lindap, meski tidak serta-merta lenyap. Barangkali seperti itulah hidup
seharusnya dinikmati. Dengan sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Tidak perlu
bepergian ke tempat jauh atau nongkrong di kafe-kafe demi membuktikan
eksistensi diri. Terkadang sendiri menutup kamar sembari mendengarkan musik
kesukaan pun tidak kalah menyenangkan.
Buatmu yang sedang mulai gemar berpuisi, ada satu bagian puisi dari Whitman tentang hidup yang perlu kaubaca:
Has any one supposed it lucky to be born?
I hasten to inform him or her it is just as lucky to die, and I know it.
Mari keluarkan dua baris puisi di atas dari konteks puisinya sendiri. Akan kita dapati kemurungan tentang hidup. Pun semacam keputusasaan hingga seolah-olah kematian tidak ada bedanya dengan hidup. Sama-sama "beruntung". Kupikir seperti itulah kau memaknai usiamu yang baru bertambah. Seperti juga kehidupan dan kematian, bekerja rutin maupun bebas sama saja.
Yang paling penting adalah selalu menemukan jalan untuk berbahagia.
dibikin enjoy aja mas...
ReplyDelete"Yang paling penting adalah selalu menemukan jalan untuk berbahagia", terkadang cara menemukan jalan ini yang harus bersusah-susah, ga selalu mulus, kadang mesti nyasar dulu...
Ya, saya juga kadang merasakan bahwa sepertinya pekerjaan mencuri kehidupan saya... Berkutat dengan pekerjaan dan ketika tersadar separuh hari telah terlewati tanpa terasa.
ReplyDeleteDan saya setuju... Karena kita akan selalu bisa menemukan jalan untuk berbahagia meskipun dengan hal-hal kecil jika kita bisa menikmatinya dan bersyukur.