Tanggal 4 Desember 2014,
menjelang pukul tiga sore, kakak menelepon. Sesenggukan, dia memintakan maaf
untuk bapak, sebelum berkata bahwa bapak meninggal karena kecelakaan ketika
mengendarai sepeda motor. Saya yang sedang menyuntuki komputer di meja kerja
hanya bisa bingung untuk sesaat, tertegun dan tidak percaya. Sama sekali tidak
percaya.
Untunglah, beberapa saat kemudian saya berhasil menguasai keadaan.
Saya menitipkan KTP kepada seorang kawan, meminta dipesankan tiket pesawat keesokan
harinya. Saya sendiri meminta izin ke kepala kantor, pulang ke kosan, memesan
travel dan memberesi pakaian seperlunya untuk dibawa. Saat itu saya bahkan
tidak sempat merayakan kesedihan dengan menangis sepuasnya. Membayangkan
lamanya perjalanan darat dari Bangko ke Jambi, dilanjut pesawat menuju Jogja
yang transit dahulu di Jakarta, lantas meneruskan perjalanan darat lagi ke
Purwokerto membuat saya lelah sebelum berangkat.
Dua puluh empat jam. Saya
bergumam sendirian. Dan dua puluh empat jam kemudian, ketika saya turun di
depan rumah dan sayup-sayup mendengar banyak orang mengaji, saya baru tersadar.
Salah satu orang yang saya sayangi telah meninggal dunia: bapak. Bapak yang
sedang rajin-rajinnya beribadah sampai-sampai bapak tak pernah ketinggalan shalat
berjamaah. Bapak yang beberapa hari sebelumnya mengirimi saya pesan singkat,
meminta dibelikan pemutar DVD agar bapak bisa menyaksikan pengajian-pengajian
melalui layar televisi.
***
Ketika hendak menulis ini, saya
terngiang-ngiang sebuah hadits Rasul mengenai perkara-perkara yang telah
ditentukan Allah ketika seorang manusia masih berada di janin ibunya. Saya
memang tak hapal betul, tetapi seingat saya beberapa di antaranya adalah
rezeki, jodoh, dan usianya. Tiga hal yang tuntas ditunaikan bapak di atas
sepeda motor.
Yang pertama adalah soal rezeki.
Bertahun-tahun lalu, bapak memulai pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di Departemen Penerangan. Sebuah departemen yang menurut banyak orang hanya
berfungsi sebagai perpanjangan tangan Soeharto untuk melanggengkan
kekuasaannya. Dalam banyak hal, saya setuju dengan pendapat tersebut. Tetapi,
sebagaimana cerita-cerita besar tentang kekuasaan, selalu ada narasi kecil yang
tak berharga untuk dituliskan dalam lembaran sejarah namun begitu akrab bagi sebagian
kecil orang. Buat saya, narasi kecil itu bernama bapak.
Sebagai PNS yang hanya lulusan
SMA (bapak pernah ditawari kuliah oleh atasannya, tetapi ditolak karena alasan
mementingkan keluarga), bapak tentu tidak mungkin menduduki jabatan mentereng.
Bapak memang sangat pro Golkar (bahkan hingga bapak meninggal). Tetapi dari
pangkat bapak (setahu saya, bapak hanya berstatus sebagai pelaksana), saya tahu
bahwa bapak tak pernah punya kewenangan untuk menentukan kebijakan seperti yang
dituduhkan banyak orang terhadap
Departemen Penerangan.
Sebagai ganjaran atas statusnya,
bapak “hanya” memperoleh fasilitas kendaraan dinas—yang tidak mewah-mewah
amat—berupa sepeda motor Suzuki 100 cc. Sepeda motor itulah yang menjadi
kesayangan bapak karena telah mendampingi bapak sejak bujangan. Puluhan tahun
bersama motornya, banyak cerita yang bapak alami.
Satu yang paling saya ingat
adalah ketika bapak bercerita tentang Departemen Agama yang mengumumkan hasil
rapat sidang isbat untuk menentukan waktu lebaran. Saat itu lepas Maghrib.
Bapak sedang bersantai dan bersiap untuk berangkat shalat tarawih. Siaran radio
tiba-tiba memberitahukan bahwa lebaran yang seharusnya jatuh dua hari kemudian
dimajukan menjadi keesokan hari. Bapak segera saja menyiapkan motornya,
berkeliling ke seluruh wilayah kerjanya malam itu juga, menembus kegelapan
malam untuk menyebarkan pemberitahuan dari Departemen Agama. Mengantisipasi
adanya warga yang belum mendengarkan pengumuman tersebut. Beberapa kali saya
mendengar bapak menceritakannya. Tiap kali itu pula, saya melihat ada raut
kebanggan pada wajah bapak. Sebuah kebanggaan karena berhasil menunaikan tugas
bersama motor kesayangannya.
Cerita bapak bersama sepeda motor
masih berlanjut. Kali ini berkaitan dengan hal nomor dua, yaitu jodoh. Langsung
atau tidak, proses bapak memperoleh jodoh tidak lepas dari motornya. Suatu
ketika bapak mengalami kecelakaan ketika mengendarai sepeda motor. Sayang,
jalanan sedang sepi dan tak ada yang terlihat menolong. Untunglah tidak berapa
lama kemudian seorang perempuan lewat, menolong, malahan merawat bapak
hingga sembuh benar. Di episode berikutnya, bapak berpacaran dengan perempuan
baik hati itu. Perempuan yang kelak dinikahi bapak dan menjadi ibu bagi
tiga orang anak. Sepanjang sejarah saya menonton televisi, saya rasa tidak satu
FTV pun yang bisa menyamai romantisme bapak dan ibu tersebut.
Saat bapak pindah tempat tugas
karena Departemen Penerangan dibubarkan, bapak beruntung karena motor tersebut
masih diperbolehkan mengikutinya pindah ke sebuah kantor kecamatan. Bahkan hingga
menjelang bapak pensiun, motor dinas tersebut masih setia bersama bapak. Saking
sayangnya, ketika bapak pensiun dan motor harus dikembalikan ke pemerintah,
bapak berencana untuk menebus motor tersebut melalui jalur lelang.
Malang,
ketika lelang diadakan, bapak berkata bahwa bapak sedang tidak memiliki uang
(yang seingat saya nilai motor tersebut adalah sebesar 400 ribu rupiah). Saya yang
saat itu masih magang dan berpenghasilan tidak seberapa pun tidak sanggup
membantu. Sampai saat ini, saya masih teringat muka bapak ketika berkata hal
tersebut. Raut muka sedih yang menjadi salah satu penyesalan terbesar dalam hidup
saya.
Maka ketika saya telah resmi
bekerja dan bapak membeli motor baru, saya membantu semampu saya untuk
melunasinya. Dengan motornya itulah, bapak kemudian bepergian kemana saja. Termasuk
ketika mengambil uang pensiun, sesaat sebelum bapak akhirnya menjemput akhir
usianya. Di atas motornya.
***
Sesampainya di rumah, saya baru memperoleh informasi lengkap mengenai kecelakaan yang dialami oleh bapak, bagaimana bapak dibawa ke RSUD yang tidak bisa menolongnya lebih lanjut karena fasilitasnya terbatas, bagaimana bapak akhirnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih bagus, bagaimana kakak bercerita detak jantung bapak berhenti di atas ambulans, di pangkuannya, sampai proses penguburan yang syukurlah berjalan lancar.
Saya yang baru tiba dan ketinggalan semuanya hanya bisa duduk mengatur napas. Saya lihat bulik Yati—adik kandung bapak—mendekati saya dan berkata bahwa saya harus bangga terhadap bapak. Bapak yang meskipun berstatus pegawai rendahan mau jungkir balik demi keluarganya, hingga anak-anaknya bisa jadi "orang". Saya yang dari dulu sinis terhadap bapak yang "bekerja seadanya" (sampai-sampai tak mampu untuk sekadar membeli sepeda motornya sendiri) lantas berpikir. Bapak memang pemalas. Bapak selalu merasa cukup dengan apa yang telah dia capai. Bapak, sepengetahuan saya, tidak pernah mencari tambahan pengasilan dalam artian korupsi ketika masih aktif sebagai pegawai. Kini saya paham, bapak sedang mengajarkan arti nrimo ing pandum. Bapak ingin saya bersyukur dan tidak menuntut lebih dari yang telah diberikan oleh sang pemberi kehidupan. Dan untuk bapak, orang yang telah mengusahakan segala yang beliau mampu, saya janji tidak akan menuntut lebih.
Apalagi, samar-samar saya ingat semasa kecil saya sering terbangun di malam hari dan mendapati kamar bapak kosong. Rupanya selepas saya tidur, bapak sering pergi, menyalakan sepeda motornya untuk mencari tambalan kebutuhan uang untuk orang-orang yang beliau sayangi.
***
post scriptum:
Beberapa hari setelah bapak meninggal, mas Nuran bertanya kepada saya apakah saya menuliskan obituari untuk bapak. Saya menjawab tidak, dengan alasan lelah dan belum sempat bertemu dengan komputer. Tetapi kali ini saya hendak jujur, bahwa alasan saya tidak segera menulis tentang bapak adalah karena saya kehilangan kenangan-kenangan tentang bapak. Semua hilang begitu saja ketika saya mendengar kabar kematian bapak. Melewatkan pemakaman bapak pun menjadi tambahan alasan mengapa saya tidak bisa menulis detail apapun. Sampai sekarang, saya masih berusaha menghimpun ingatan tentang bapak dan berniat untuk menuliskannya ketika telah mengingatnya. Karena, kautahu, seseorang takkan betul-betul mati sampai ingatan tentangnya hilang sama sekali.
Innalillahi wainnailaihi rojiun...
ReplyDeleteTurut berduka mas gita...
Semoga beliau tenang di sisi Allah dan kondur dg khusnul khotimah.. aamiin...
Amiin. Makasih ya Ul. :)
DeleteSami2...
DeleteMemang tak begitu mengenal beliau. Hanya sekilas pandang jaman2 sd dlu...
Tp msh lekat dlm ingatan kl ktmu beliau pasti dg sepeda motornya...
Kuat,,ikhlas ya mas... afwan hny bs bantu doa..
Alfatihah kagem bapakmu.
ReplyDeleteInsya Allah saya mendoakan beliau selalu. Makasih, bung, sudah ikut mendoakan :)
DeleteWah..lha tak kiro suwargi Bapakmu sedane mergo gerah sepuh; jebule kecelakaan to, Le? Apa maneh krungu suaramu saat itu.
ReplyDeleteLuar biasa, Le.. Salut buat orang2 seperti suwargi bapakmu iku... Lha wong istiqomah kok sepanjang hayat....
Hooh. Makanya kejadiannya cepet banget, pak. Hehe.
DeleteBapakku sehat terus jeh, sampai usia 60 beliau nggak pernah terdengar ngeluh sakit. Pancen luar biasa.
Allaohumaghfirlahu warhamhu waaifihi wa'fuanhu...
ReplyDeleteAmiin. Terima kasih sudah ikut mendoakan :)
DeleteInnalillahi wa innailaihi roji'un...
ReplyDeleteTurut berduka cita, Mas. Semoga bapak Mas Gita diterima segala amal ibadahnya, dihapuskan dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya. Untuk keluarga, yang tabah ya... Titip salam untuk keluarga Mas Gita.
Amiin. Makasih ya, Mbak. Siap disampaikan :)
DeleteInnalillahi wa innailaihi rojiun...
ReplyDeleteTurut berduka cita, gita...
Semoga beliau diampuni segala dosanya, khusnul khotimah dan diberikan tempat terbaik oleh Alloh
Amiin. Doa yang indah sekali. Hehe. Makasih, Mas!
DeleteGecol, turut berduka cita ya,
ReplyDeleteAllahummaghfirlahu warhamhu wa'afihii wa'fu'anhu. Ya Allah, ampunilah dia, dan kasihanilah dia dan sejahterakanlah serta ampunilah dosa nya. Aamiin
Sungguh kematian itu adalah nasehat yang baik, tulisannya so inspiring, Yang sabar ya col..
Turut berduka mas... semoga ditempatkan di tempat terbaik disisi-Nya...
ReplyDeleteAamiin