Seorang kawan—dia seorang Batak—pernah
bercerita tentang adat istiadat di tempatnya. Menurutnya, jika ada dua orang
lelaki yang sedang bertengkar dan kau ingin mengidentifikasi apakah keduanya
masih melanjutkan perselisihan atau sudah berdamai, coba tengok: apakah dua
orang tersebut sudah berada di satu meja sembari minum tuak. Kalau jawabannya
adalah iya, dapat dipastikan bahwa mereka telah menyudahi semua permasalahan di
antara mereka dan bersepakat untuk melupakannya. Yang barangkali perlu kautahu,
kata kawan tadi, ucapan maaf tidak begitu diperlukan. Mereka lebih butuh bukti
berupa perbuatan, yaitu dengan cara minum tuak bersama. Barangkali kawan tadi
menggeneralisasi sebuah keadaan yang tidak semua Batak mengalaminya. Mungkin juga
ceritanya bias gender. Tetapi, peristiwa berdamai tanpa sebuah kata maaf
sungguh menarik buat saya.
Keluarga saya, lebih tepatnya
saya dengan kakak dan adik saya yang kebetulan semuanya lelaki, telah tidak sadar menanamkan kebiasaan seperti di atas. Bedanya, kami tidak menggunakan tuak
atau minuman beralkohol semacamnya. Adalah kopi yang menjadi media perdamaian
di antara saya dengan kedua saudara saya ketika kami sedang bermasalah.
Saya pernah bertengkar hebat
dengan adik saya. Saat itu, adik saya sudah berkuliah. Sedang saya magang,
kalau bukan dianggap sudah bekerja. Dia ngekos
dan saya rutin berkunjung ke kosannya hingga menginap berhari-hari. Akibat
pertengkaran itu, adik saya marah bukan kepalang kepada saya. Saya pun tidak
kalah berang kepadanya. Ayah dan Ibu yang kemudian mengetahuinya hanya bisa
angkat tangan. Mereka berdua memang memberi ultimatum, tetapi tak ada dari saya
maupun adik yang mematuhinya. Maklum, kami sama-sama terlanjur besar dan sudah
terlalu susah untuk dinasehati. Tetapi tak lama saya merasa lelah. Buat apa
memperpanjang perselisihan, apalagi dengan saudara sendiri. Suatu pagi saya
menuju ke kosannya. Mengetahui dia masih terlelap, saya menjerang air lalu
membuat dua cangkir kopi. Satu untuk adik. Satu untuk saya sendiri. Beberapa saat
kemudian adik bangun dan mendapati saya sedang duduk membaca komik, menunggunya
untuk ngopi bersama. Selanjutnya, saya dan adik kembali saling bercanda
dan berbicara seperti tak ada pertengkaran sebelumnya
Sebelumnya malah lebih parah. Saya
pernah perang dingin dengan kakak bertahun-tahun lamanya untuk alasan yang bahkan
sudah saya lupakan. Pokoknya saya enggan menyapa kakak karena sebuah masalah
yang menurut saya tak terampuni. Jika saya tidak salah ingat pada saat itu saya
sudah duduk di bangku SMA. Usia di mana saya sudah terlalu tua untuk menganggap
pertengkaran sebagai angin lalu, tetapi masih terlalu goblok untuk menyadari
kesalahan sendiri. Kali ini, ayah dan ibu tidak mengetahui bahwa kami masih
memendam bara. Mereka tahu, memang, bahwa kami pernah berkelahi demikian
kerasnya hingga masing-masing amukan kami sukar dihentikan. Namun tidak adanya
perkelahian susulan dianggap sebagai sebuah akhir. Apalagi setiap tahun ketika
Idul Fitri selalu ada tradisi saling bermaafan. Rupanya tidak tetap tidak. Saya
memiliki kelebihan, sifat yang keras kepala, menyimpan dendam hingga membatu.
Hingga tibalah saat di mana saya
ditakdirkan untuk mengadakan rekonsiliasi dengan kakak. Mencukur ego dan
melangkah dari masa lalu.
Setelah lulus kuliah, kakak saya
sempat bekerja menjadi buruh di sebuah pabrik di Karawang. Hal tersebut memaksa
dia untuk tinggal di kota itu dan tidak pulang hingga beberapa waktu lamanya. Suatu
hari saya mengantar ke stasiun kereta api seorang kawan yang akan pergi ke
Yogyakarta. Kebetulan, kereta api yang memulai perjalanannya dari Jakarta itu
mengangkut kakak saya. Dia turun dari kereta api, mengedarkan mata, hingga
akhirnya pandangan kami bertemu pada satu titik. Momen saling diam pun tak
terhindarkan. Kikuk tak tahu apa yang harus dilakukan. Untunglah kakak segera tahu
cara menguasai keadaan. Dia menyapa saya, meski pada awalnya dengan sedikit
dingin. Berbasa-basi sebentar. Setelahnya, sebuah warung kopi menjadi saksi
bagaimana dua orang saudara yang bertahun-tahun tak saling sapa larut dalam
percakapan yang tiada akhirnya
Kini ngopi bersama menjadi adat kami bertiga. Setiap kali saya mudik saya mengajak
kakak dan adik pergi ke warung manapun yang menyediakan kopi. Entah itu
angkringan, kafe, atau rumah makan. Kakak saya yang sekarang sudah memiliki
anak istri pun selalu memiliki alasan untuk pulang kantor terlambat apabila
saya sedang mudik: ngopi. Walaupun tentu saja kali ini tidak didahului dengan
perselisihan sekecil apapun.
***
Untuk sebab yang sentimentil, ngopi bersama dengan kakak dan adik membuat saya selalu teringat wajah haru ibu saya. Tiga bersaudara yang dulu hampir setiap saat bertengkar, selalu menyusahkan orang tua, sekarang dekat sekali seperti tanpa sekat. Seperti teman sepermainan sebaya, hingga kini kami masih sering bepergian bersama—bertiga saja. Bahkan, kali terakhir saya mudik dan ngopi bersama kakak dan adik, ibu saya mengirimkan pesan singkat ke ponsel adik, meminta kami berdiskusi, membantu menemukan solusi atas permasalahan yang sedang beliau alami.
Ah... Rupanya secepat itu ya, Bu?
*post scriptum: tulisan ini bisa dibaca juga di situs minumkopi.com
*post scriptum: tulisan ini bisa dibaca juga di situs minumkopi.com
nice, enak banget lah gw bacanya (y)
ReplyDeleteudah bisa bikin buku lah ya? :p
Delete