Seorang kawan—dia seorang Batak—pernah
bercerita tentang adat istiadat di tempatnya. Menurutnya, jika ada dua orang
lelaki yang sedang bertengkar dan kau ingin mengidentifikasi apakah keduanya
masih melanjutkan perselisihan atau sudah berdamai, coba tengok: apakah dua
orang tersebut sudah berada di satu meja sembari minum tuak. Kalau jawabannya
adalah iya, dapat dipastikan bahwa mereka telah menyudahi semua permasalahan di
antara mereka dan bersepakat untuk melupakannya. Yang barangkali perlu kautahu,
kata kawan tadi, ucapan maaf tidak begitu diperlukan. Mereka lebih butuh bukti
berupa perbuatan, yaitu dengan cara minum tuak bersama. Barangkali kawan tadi
menggeneralisasi sebuah keadaan yang tidak semua Batak mengalaminya. Mungkin juga
ceritanya bias gender. Tetapi, peristiwa berdamai tanpa sebuah kata maaf
sungguh menarik buat saya.