Barangkali aku akan mulai mengurangi kebiasaanku membeli buku.
Bukan
karena aku tidak lagi menyukai buku. Bukan pula karena aku sudah
kelelahan untuk membagi waktu di antara jam kerjaku. Sepertinya kamu mengerti betul bagaimana aku mencintai buku, bagaimana aku menjadikannya
barang koleksiku. Bau kertas dari buku yang baru dibuka sungguh
menggoda. Ketika kubalik lembar demi lembarnya, bau sedap segera saja
menguar di udara. Macam itulah perasaanku kepada buku. Bahkan seringkali
aku membeli sebuah buku walau aku sudah memiliki buku yang sama.
Biasanya buku tersebut baru berupa buku digital, beberapa kali karena
sudah kuberikan pada orang atau hilang. Karenanya, aku memahami mengapa
Bung Hatta pernah memarahi orang yang mencoret-coret bukunya dan meminta
orang tersebut menggantinya dengan yang baru.
Tetapi ironisnya kegemaranku membeli buku malah diusik oleh satu judul buku yang kubaca. Lebih tepatnya, sebuah puisi berjudul Catatan. Biar kautahu juga isi puisi itu, aku akan mengetik ulang di sini.
udara AC asing di tubuhku
mataku bingung melihat
deretan buku-buku sastra
dan buku-buku tebal intelektual terkemuka
tetapi harganya
Ooo.. aku ternganga
musik stereo mengitariku
penjaga stand cantik-cantik
sandal jepit dan ubin mengkilat
betapa jauh jarak kami
uang sepuluh ribu di sakuku
di sini hanya dapat 2 buku
untuk keluargaku cukup buat
makan seminggu
gemerlap toko-toko di kota
dan kumuh kampungku
dua dunia yang tak pernah bertemu
Puisi
di atas adalah puisi yang dibuat oleh seorang penyair yang diculik pada
zaman Orde Baru, Widji Thukul. Semoga kamu tahu, atau minimal pernah
mendengar namanya. Beberapa saat lalu aku membacanya, lantas berhenti
begitu saja pada halaman di mana puisi itu berada. Aku berpikir cukup
lama sebelum kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi bacaanku.
Aku
merasa kalah. Aku tidak mampu menemukan alasan yang tepat untuk
dijadikan pembenaran atas kebiasaanku satu ini. Ketika aku hobi
berputar-putar dari satu kalimat ke kalimat yang lain, melompat dan
mencerna kata demi kata yang kubaca, aku menjadi hilang akal. Banyaknya
buku yang mengingatkan pada kebaikan, menyiratkan kebijakan, justru
membuatku lupa; bahwa sebaik-baik orang yang memiliki rezeki adalah dia
yang sering berbagi.
Kebiasaanku jelas bukan bagian daripadanya.
Dengan membeli buku (yang meski dibutuhkan tetapi tidak darurat-darurat
amat) aku merasa sangat egois. Berkali-kali aku menghamburkan, meski
tentu tak mubazir, uang yang tidak sedikit demi membeli buku. Seringkali
malah aku memesan dari toko buku online dengan tambahan biaya
pengiriman. Setelah kupikir-pikir lagi, yang aku lakukan bisa menyakiti
orang-orang seperti Widji Thukul, orang dengan kemampuan ekonomi
kurang--jika tidak boleh dikatakan miskin. Gambaran Widji Thukul tentang orang-orang seperti dalam frase di sini hanya dapat 2 buku, untuk keluargaku cukup buat makan seminggu telak memukulku.
Sebab itulah aku berpikir untuk mengerem keinginanku, terutama dalam membeli buku.
Barang yang hanya bisa kunikmati, kumanfaatkan sendiri. Barang yang
terkadang malah membuatku merasa pintar sendiri (padahal faktanya jelas tidak). Tentu tak mungkin aku
berhenti sama sekali. Bukan saja karena banyak hal positif yang bisa
diperoleh dari buku, tetapi juga karena hanya bukulah satu-satunya kawan
yang tidak mungkin berkhianat kepadaku.
Aku pun sekarang membatasi pembelian buku. Alasannya ya demi hemat, demi menabung. Toh, di laptopku pun masih banyak ebook yang belum kubaca. Kalau aku sudah rindu betul dengan buku, baru deh aku ke toko buku. Keliling-keliling mencari buku yang layak untuk aku bawa pulang.
ReplyDeleteSudah 2 bulan aku tidak ke Gramed dan beralih ke Perpusda, ternyata buku-buku di sana sangat bagus utk biaya sewa 0 rupiah dan peminjaman selama dua minggu.
ReplyDeletedan sekarang aku mulai berpikir tentang paket internet yang kubeli kemarin... itu cukup untuk ongkos makan seminggu
ReplyDeletewaa
ReplyDelete