Ketika di awal tahun saya memperoleh kabar bahwa Eka Kurniawan, AS Laksana, dan Puthut EA akan menerbitkan buku kumpulan cerpen yang baru, hati saya melonjak kegirangan. Betapa tidak? Ketiga penulis (Puthut EA sampai detik ini masih ngotot tidak ingin disebut sebagai sastrawan) tadi adalah penulis-penulis favorit saya. Waktu itu saya bahkan sempat bergumam bahwa tahun ini adalah tahun sastra. Kumpulan cerpen masing-masing dari mereka yang baru pasti akan melecut banyak nama lain untuk segera menyelesaikan karyanya dan menyusul menerbitkan buku pula.
Rupanya perkiraan saya sedikit keliru—jika tak mau dibilang salah. Rupanya informasi yang saya peroleh di awal tahun baru sepotong. Menjelang hari penerbitan buku saya baru tahu ternyata, dari ketiga nama penulis yang saya sebut di atas, tidak ada yang betul-betul menerbitkan buku, dalam artian memproduksi tulisan baru, cerpen-cerpen baru. Mereka (Puthut menerbitkan 3 buku dengan 1 buku di antaranya memiliki label cetak ulang) “hanya” mengemas ulang kumpulan cerpen lawas. Mengemas ulang berarti menerbitkan kembali cerpen-cerpen lama dengan disisipi beberapa cerpen yang belum pernah diterbitkan atau mengedit cerpen lama agar dengan versi yang sedikit berbeda (ini diakui Eka Kurniawan di bagian Catatan di akhir buku untuk proses pengerjaan bukunya Gelak Sedih).