Tanggal 4 Desember 2014,
menjelang pukul tiga sore, kakak menelepon. Sesenggukan, dia memintakan maaf
untuk bapak, sebelum berkata bahwa bapak meninggal karena kecelakaan ketika
mengendarai sepeda motor. Saya yang sedang menyuntuki komputer di meja kerja
hanya bisa bingung untuk sesaat, tertegun dan tidak percaya. Sama sekali tidak
percaya.
Untunglah, beberapa saat kemudian saya berhasil menguasai keadaan.
Saya menitipkan KTP kepada seorang kawan, meminta dipesankan tiket pesawat keesokan
harinya. Saya sendiri meminta izin ke kepala kantor, pulang ke kosan, memesan
travel dan memberesi pakaian seperlunya untuk dibawa. Saat itu saya bahkan
tidak sempat merayakan kesedihan dengan menangis sepuasnya. Membayangkan
lamanya perjalanan darat dari Bangko ke Jambi, dilanjut pesawat menuju Jogja
yang transit dahulu di Jakarta, lantas meneruskan perjalanan darat lagi ke
Purwokerto membuat saya lelah sebelum berangkat.
Dua puluh empat jam. Saya
bergumam sendirian. Dan dua puluh empat jam kemudian, ketika saya turun di
depan rumah dan sayup-sayup mendengar banyak orang mengaji, saya baru tersadar.
Salah satu orang yang saya sayangi telah meninggal dunia: bapak. Bapak yang
sedang rajin-rajinnya beribadah sampai-sampai bapak tak pernah ketinggalan shalat
berjamaah. Bapak yang beberapa hari sebelumnya mengirimi saya pesan singkat,
meminta dibelikan pemutar DVD agar bapak bisa menyaksikan pengajian-pengajian
melalui layar televisi.