Namanya adalah Galang. Dia bukan Galang Rambu Anarki, putra Iwan Fals yang diabadikan
lewat sebuah lagu. Ia “hanya” seorang sahabat yang tak akan bisa benar-benar
saya lupakan. Jika ingatan saya tak salah, nama lengkapnya adalah Galang Ibnu
Iktibar Noor. Ia terlahir pada tanggal 25 April 1990 (semoga ini benar) sebagai seorang sulung dari 3 orang bersaudara. Rumahnya berada di desa
sebelah tempat tinggal saya. Namun, bukan karena menjadi teman sepermainan Galang lah
saya mengenal dia untuk kali pertama.
Saya bertemu muka dengan galang untuk
kali pertama di sebuah lomba cerdas cermat Sekolah Dasar tingkat kecamatan.
Kala itu, di final yang diikuti oleh lima
orang peserta, saya bisa menjadi juara seandainya Galang tidak mengacau. Di
final tersebut, satu pertanyaan hanya boleh dijawab satu kali oleh peserta yang
menekan bel paling cepat. Sialnya, di saat-saat genting di sesi terakhir Galang
membuat satu pertanyaan yang bernilai besar terbuang sia-sia karena ia salah
menjawabnya. Saya yang mengetahui jawaban yang benar pun hanya bisa gigit jari
karena terlambat menekan bel. Akhirnya, saya harus puas berada di peringkat ketiga. Satu tingkat di atas Galang.
Setelah lomba berakhir, saya pulang
dan meneruskan hidup seperti biasa. Saya tak sempat mengenal Galang pada saat
lomba karena ia bersekolah di SD yang berbeda dengan saya. Hingga suatu waktu,
takdir memberikan kesempatan bagi saya berkenalan dengan Galang. Pada waktu itu
saya mengikuti Pekan Olah Raga dan Seni (Porseni) cabang catur dan Galang
mengikuti cabang badminton. Karena penasaran dengan orang yang membuat saya
kalah di lomba cerdas cermat, saya menemuinya dan berkenalan dengannya. Sebuah perkenalan singkat. Tetapi dari sana
saya tahu bahwa rumahnya hanya berjarak 5 menit bersepeda dari rumah saya.
Perkenalan usai. Saya dan dia menjadi akrab. Mungkin karena mempunyai hobi dan topik obrolan
yang sama. Saya menjadi sering bermain ke rumah galang dan ia pun sebaliknya.
Kami kemudian bermain bersama dengan kawan-kawan lain: bersepeda, berenang, dan
sesekali bermain PS. Pendeknya, dari penilaian saya ketika baru mengenalnya, Galang adalah anak yang supel dan cepat bergaul
dengan orang lain. Sikapnya yang ramah dan jarang marah membuatnya gampang
disukai.
Iya. Galang hampir tak pernah marah.
Setahu saya, satu-satunya momen ia marah adalah ketika saya merusakkan
sepedanya dengan tak sengaja. Itu pun hanya berlangsung sebentar. Keesokan hari
setelah peristiwa tersebut, tak nampak lagi tanda ia memendam rasa marah.
Galang memang terlampau baik. Dan untuk soal ini, ada satu peristiwa yang masih
saya ingat. Galang pernah mentraktir saya dan beberapa orang kawan saat ia
ulang tahun. Pada waktu itu, kami hanyalah siswa SMP yang jauh dari kata mewah. Galang—juga saya—tidak terlahir dari keluarga kaya yang selalu memberikan uang sejumlah yang ia minta. Ia sengaja mengumpulkan uang sakunya
sejak lama hanya untuk mentraktir semangkuk mie ayam di tepian kolam renang
umum selepas kami berenang bersama. Saya sudah tak ingat rasanya, tetapi
setahu saya mie ayam tersebut nikmat sekali. Semangkuk mie yang terlalu kecil
untuk menampung rasa persahabatan yang meluber-luber.
Tentu saja. Semangkuk mie ayam takkan pernah mampu menggambarkan betapa baiknya Galang di mata saya. Tulisan ini pun demikian. Betapapun banyak saya menulis tentang Galang, saya takkan bisa menceritakan detil persahabatan antara saya dan Galang. Meskipun kami tak pernah benar-benar duduk bersama di satu kelas, di satu gedung sekolah, namun kami terlalu sering berinteraksi. Kami telah terlalu sering bertemu, saling menghina dan berbagi tawa dari SD hingga bangku kuliah. Dari kami sama-sama kecil hingga beranjak dewasa bersama. Dari akhir 90-an hingga suatu saat di penghujung Maret 2009, sekitar tiga tahun lalu. Dari lomba cerdas cermat hingga di suatu sore—saya masih ingat—saya menerima telepon dari Ari, salah seorang kawan saya dan Galang.
Tentu saja. Semangkuk mie ayam takkan pernah mampu menggambarkan betapa baiknya Galang di mata saya. Tulisan ini pun demikian. Betapapun banyak saya menulis tentang Galang, saya takkan bisa menceritakan detil persahabatan antara saya dan Galang. Meskipun kami tak pernah benar-benar duduk bersama di satu kelas, di satu gedung sekolah, namun kami terlalu sering berinteraksi. Kami telah terlalu sering bertemu, saling menghina dan berbagi tawa dari SD hingga bangku kuliah. Dari kami sama-sama kecil hingga beranjak dewasa bersama. Dari akhir 90-an hingga suatu saat di penghujung Maret 2009, sekitar tiga tahun lalu. Dari lomba cerdas cermat hingga di suatu sore—saya masih ingat—saya menerima telepon dari Ari, salah seorang kawan saya dan Galang.
Saya lupa tanggal berapa waktu itu.
Namun saya masih ingat, waktu itu akhir Maret. Saya tengah bersiap membereskan
pakaian untuk pulang kampung seusai Ujian Akhir Semester. Saya yang masih
berada di Jakarta
tiba-tiba dikagetkan oleh telepon dari Ari yang mengabarkan bahwa Galang meninggal.
Galang yang kuliah di Semarang
kecelakaan ketika tengah bermotor, mudik ke rumahnya di Banyumas. Saya ingin
menganggap Ari hanya bercanda. Tetapi beberapa pesan singkat yang masuk
kemudian memaksa saya untuk percaya bahwa saya telah kehilangan seorang sahabat
yang menyenangkan. Sudah pasti saya sedih. Namun yang lebih membuat saya terpukul
adalah saya tak sempat menghadiri pemakamannya. Padahal tinggal beberapa jam
lagi sampai saya berada di rumah dan bisa menyempatkan diri memberi
penghormatan terakhir untuk Galang.
Kini, tiga tahun setelah kepergian
Galang, perlahan kesedihan mulai lindap. Yang tersisa saat ini hanyalah
potongan kenangan-kenangan yang kerap berkelindan hadir saat petang menjelang.
Seperti saat ini. Saya tiba-tiba merasa rindu saat makan mie ayam bersama
Galang. Saya rindu saat belajar bersama menjelang Ujian Nasional SD sampai SMA, saat bermain PS bersama, dan saat-saat lainnya. Kini saya hanya bisa sesekali melintas di depan rumah Galang—menengok ke rumahnya yang tak seramai dulu—sambil berbisik pelan, mendoakan agar ia tenang di alam sana.
***
Lang, mungkin kau takkan membaca ini,
tapi aku yakin kini kau telah menemukan kedamaian. Sekarang kau tak perlu memikirkan beratnya
ujian semester dan skripsi. Sekarang kau tak lagi harus memikirkan biaya makan bulanan di
perantauan. Dan, hei, bukankah kau tak perlu mengikuti USM STAN seperti yang kauinginkan ketika kali terakhir kau meneleponku? Sungguh beruntunglah kau! Masuk STAN dan menjadi pegawai tidaklah senikmat bersepeda dan membaca komik di pinggir kali seperti yang biasa kita lakukan.
Lang, karena kau bukan Galang Rambu Anarki yang menjadi terkenal dan diabadikan oleh penyanyi papan atas itu, izinkanlah kali ini aku mengabadikanmu lewat tulisanku yang tak sempat mengunjungi makammu. Percayalah, tanpa aku menulis ini pun kau tetap akan abadi dalam ingatan keluarga dan kawan-kawan yang mengasihimu. Terakhir, maaf untuk sepeda yang kurusakkan. Terima kasih untuk semangkuk mie ayam persahabatan itu. Au revoir!
Lang, karena kau bukan Galang Rambu Anarki yang menjadi terkenal dan diabadikan oleh penyanyi papan atas itu, izinkanlah kali ini aku mengabadikanmu lewat tulisanku yang tak sempat mengunjungi makammu. Percayalah, tanpa aku menulis ini pun kau tetap akan abadi dalam ingatan keluarga dan kawan-kawan yang mengasihimu. Terakhir, maaf untuk sepeda yang kurusakkan. Terima kasih untuk semangkuk mie ayam persahabatan itu. Au revoir!
tulisan bagus, jadi inget kawan gw :')
ReplyDeleteTulisan yg dalem, saya juga pernah punya sahabat dari kecil hingga harus merantau bersama hingga akhirnya maut memisahkan. Hingga 10 tahun kmudian saya baru menemukan selarik kertas yg berisi pesan terakhirnya diselipkan di jurnal harian saya...semoga mereka semua damai disana.
ReplyDelete